Mantan OPM dan Dosen Ini Beri Pengakuan Mengejutkan Soal Papua

- 2 Juli 2021, 12:23 WIB
Ilustrasi Papua.
Ilustrasi Papua. /Pixabay/Nikola Belopitov

PORTAL LEBAK - Mantan aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) John Norotouw dan dosen Universitas Negeri Medan (UNM) Dr Rosmaida Sinaga memberikan pandangan dan kesaksian dalam hal ini. Sudah puluhan tahun konflik terjadi di Papua. Tentu ada penyebabnya dan apa jalan keluarnya.

John Norotouw menerangkan konflik ini terjadi karena peninggalan Belanda terhadap warga Papua. Belanda memberikan konsep kepada masyarakat Papua untuk merdeka dan menguasainya. Sehingga terjadi kelompok tertentu ingin merdeka karena janji Belanda.

"Negara Papua, itu tidak ada. Inilah yang terjadi selama 58 tahun terus menerus konflik dengan pemerintah. Negara boneka suatu yang tidak benar. Padahal itu konspirasi Belanda," kata Jhon saat webinar dengan tema “Perdamaian dan Kedamaian di Papua”, Kamis 1 Juli 2021.

Baca Juga: TNI Kunjungi Polsek Waris Papua di Perbatasan RI-PNG, Ucapkan Selamat HUT Hari Bhayangkara ke 75

Dia mengatakan bahwa Tanah Papua 100 persen masuk ke dalam pangkuan Indonesia. Hal itu diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan kedaulatan Papua sudah final.

Lebih lanjut dia menguraikan tanah Papua lebih aman dan lebih Indonesia. Di mana, di Papua terdapat orang Papua dan orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

"Masyarakat Papua sedang membangun perdamaian. Apa lagi membangun negara, belum ada pengalaman. Papua tidak akan Merdeka. Papua sedang bangun sendiri kearifan lokalnya," tutur dia.

Baca Juga: Vaksin dari Jepang Tiba, Indonesia Terima Hibah 998.400 Vaksin AstraZeneca

Sementara itu, Rosmaida Sinaga menyatakan kondisi Papua sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Sehingga dalam hal pembangunan mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah.

Khususnya dalam hal pendidikan, perlu adanya pembenahan agar Papua ke depan menjadi lebih baik. Dia mengaku sudah 25 tahun mengajar di Papua dari 1992. Pada waktu itu tidak ada SD Inpres yang sebagus dengan yang ada di Pulau Jawa. "Pertanyaannya apa yang salah dengan kebijakan Papua?” kata dia.

Dirinya mengisahkan, menjadi dosen di Universitas Cenderawasih, menjumpai guru yang di pedalaman masih menggunakan kurikulum yang lama. Padahal, seharusnya sudah memakai K-13.

Baca Juga: 7 Hektar Ladang Ganja Dimusnahkan, Polri Juga Sita 592 Kg Ganja Kering

Dirinya menilai masih dijumpai adanya fasilitas rendah yang rendah seperti adanya gangguan internet yang kerap terjadi. Di tambah lagi, para guru tidak punya jaringan internet bagaimana mereka mengajar.

Di pedalaman Papua, lanjutnya, masih ada dijumpai siswa yang tidak punya buku atau hanya punya satu buku tulis. Belum lagi, ada siswa yang harus berjalan berkilometer menuju sekolah. Sehingga, secara fisik lelah dan kurang fokus dalam belajar.

Dijumpai pula, ujar dia, mereka hampir tidak sekolah, karena gurunya tidak ada. Parahnya, ada satu guru di satu sekolah, kesejahteraan sangat kurang.

Baca Juga: Gegara Proyek Samisade, Pria Ini Diduga Dipukuli Suruhan Oknum Kades di Bogor

“Kalau kita lihat guru itu bukan karena keinginannya dan bukan panggilan jiwa. Mengapa mutu pendidikan di Papua rendah salah satunya karena bukan panggilan jiwa, dan ada yang hanya tinggalkan tugas. Apalagi, kalau perempuan kalau suami pindah dia ikut pindah," lanjutnya.

Rosmaida mengungkapkan, metode pendidikan berasrama dinilai cukup membantu menghasilkan kualitas pendidikan. Pasalnya, anak-anak yang tempat tinggalnya jauh bisa belajar dengan baik di asrama. Sebagain tokoh nasional dari Papua juga berasal dari pendidikan asrama seperti Fredy Numberi dan lainnya.

Rosmaida berpandangan, jika pembangunan dan pendidikan diperbaiki, kesejahteraan di Papua akan naik. Pendidikan sampai ke jenjang lebih tinggi akan membuat Papua mampu bersaing dengan daerah lain. Dengan demikiaan ada keseteraan antara rakyat Papua dan daerah lainnya.

Baca Juga: Covid-19 Semakin Ganas! Presiden Joko Widodo Umumkan PPKM Darurat Berlaku di Jawa dan Bali

“Apabila pendidikan diperbaiki mereka bersaing, bukan kalah saing tuntut keistimewaan," ujarnya.

Dia juga berpendapat, Nasionalisme akan berkembang apabila mereka merasa bagian dari NKRI. Untuk itu, kebijakan perlu diperbaiki dengan meningkatkan kesejahteraan.***

Editor: Didin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah