Anggota C20 Indonesia Soroti Kunci Keberhasilan Vaksinasi dan HAKI

- 20 Agustus 2021, 17:34 WIB
Anggota C20 Indonesia Soroti Kunci Keberhasilan Vaksinasi dan HAKI
Anggota C20 Indonesia Soroti Kunci Keberhasilan Vaksinasi dan HAKI /Foto : Humas Oxfam/

 

PORTAL LEBAK - Dalam webinar Road to G20 Indonesia 2022 bertema Mewujudkan Akses Vaksin yang Terjangkau bagi warga, Anggota C20 Indonesia soroti vaksinasi dan HAKI, pada Kamis, 19 Agustus 2021.

Negara berkembang termasuk Indonesia secara nyata telah mengalami kekurangan pasokan vaksin di sejumlah daerah.Di tengah kejatuhan ekonomi nasional akibat pandemi, pemerintah Indonesia harus membayar mahal belanja vaksin COVID-19 dari luar negeri akibat harga vaksin yang dipatok mahal oleh para pabrik farmasi internasional, dan menciptakan beban ekonomi yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi.


“Yang dilakukan oleh negara-negara kaya adalah membeli vaksin dalam jumlah yang jauh di atas kebutuhan mereka, dan membuat negara lain yang tidak punya uang minggir dulu,” ungkap Lutfiyah Hanim, anggota C20 Indonesia dari Indonesia for Global Justice (IGJ) dalam webinar Road to G20 Indonesia 2022 tersebut.

Baca Juga: Jerinx SID Bersedia Jalani Vaksinasi Covid-19 Dosis Sinovac, Setelah Berdiskusi Dengan Ahli Virus


Penyebab ketimpangan akses vaksin dan obat-obatan di level internasional yang menyebabkan kegagalan penanganan COVID-19 di negara berkembang tidak lepas dari akar permasalahannya yaitu penguasaan dan monopoli perusahaan farmasi besar atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) vaksin COVID-19. Sejak awal pandemi, perusahaan farmasi global terus mengadopsi pendekatan “business as usual”, baik dengan mempertahankan kontrol ketat atas hak kekayaan intelektual mereka atau dengan mengejar keuntungan besar penjualan vaksin dan obat-obatan dan mengesampingkan nilai kemanusiaan di tengah pandemi.

Terlebih hampir seluruh produk kesehatan dalam penanganan COVID-19, seperti alat tes, diagnostik, masker, obat-obatan, vaksin, dan ventilator dilindungi dalam hak paten, rahasia dagang, dan desain industri yang diatur dalam perjanjian HAKI atau TRIPS Agreement di organisasi perdagangan dunia (WTO). Hal ini bahkan diperparah dengan komitmen negara-negara maju yang belum kuat untuk mendistribusikan vaksin dengan adil, terutama ke negara-negara miskin dan berkembang.


“Per Juni 2021 hanya 1,4% (vaksin) yang dikirim ke Afrika, yang 2,4% ke negara lain yang berpendapatan rendah. Sisanya negara maju. Bisa dikatakan 94 dari 100 penduduk negara maju sudah divaksinasi. Sehingga boleh dikatakan keseimbangan (vaksin) tuh jomplang.” ujar Rudjimin, Koordinator Penanganan Sengketa Perdagangan dan Kekayaan Intelektual di Direktorat Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual (PKKI), Kementerian Luar Negeri RI.

Baca Juga: Polda Banten Gandeng Aliansi BEM Nusantara Gelar Serbuan Vaksinasi Mahasiswa Nasional di UIN SMH Banten


Presiden RI Joko Widodo sudah menegaskan bahwa posisi Indonesia mendorong inisiatif pengabaian HAKI vaksin COVID-19 atau juga disebut sebagai TRIPS waiver melalui forum-forum internasional. Indonesia akan memegang presidensi G20 mulai 1 Desember 2021 dan menjadi tuan rumah pertemuan forum ekonomi global terbesar ini pada November 2022. Mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan bahwa momentum ini menjadi kesempatan emas untuk mengangkat isu pemulihan dari pandemi COVID-19 dan akses vaksin yang terjangkau bagi seluruh warga dan mendorong lahirnya kebijakan produksi dan distribusi vaksin secara global yang lebih cepat dan terjangkau melalui inisiatif pencabutan HAKI vaksin COVID-19.


Meski demikian, isu HAKI bukan kendala satu-satunya untuk mewujudkan akses vaksin yang terjangkau. Jika inisiatif pengabaian HAKI (TRIPS waiver) dilaksanakan pun, Indonesia masih menghadapi kendala keterbatasan teknologi. “Kalau sekarang TRIPS waiver disepakati, kita (melalui PT Bio Farma) bisa bikin (vaksin) tidak? Mereka akan bilang belum bisa bikin. Masih ada teknologi yang belum dimiliki PT Bio Farma untuk membuat vaksin. Perlu ada bantuan teknologi dari vaccine manufacturer”, ujar Rudjimin.


C20 Indonesia juga menyoroti anggaran vaksin pemerintah Indonesia yang dinilai belum mencukupi dan birokrasi vaksin nasional yang rumit.

Baca Juga: Tinjau Serbuan Vaksinasi di Jonggol, Brigjen TNI Achmad Fauzi Berencana Jemput Bola Gelar Percepatan Vaksinasi

“Jumlah (vaksin) yang dibeli masih kurang, ini tercermin dari anggaran program pemulihan ekonomi nasional yang dialokasikan untuk vaksin boleh dibilang masih kecil. Belum lagi soal birokrasi vaksin di Indonesia yang masih complicated (rumit), ditambah lagi dengan kurangnya dukungan rantai distribusi vaksin Indonesia.”, tegas Tatat, anggota C20 Indonesia dari lembaga Oxfam in Indonesia.


Dalam mewujudkan akses vaksin yang terjangkau, C20 Indonesia menyuarakan sejumlah rekomendasi untuk mengoptimalkan peran diplomasi Indonesia pada G20 2022.***

Editor: Didin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah