Kepala BMKG: Ilmu Tradisional 'Titen' Milik Nelayan dalam Mencari Ikan dan Melaut Harus Ditinggalkan

14 Oktober 2021, 15:45 WIB
Ilustrasi Nelayan di tengah laut, menggunakan ilmu Titen. /Foto: unsplash.com/@jonny_k /

PORTAL LEBAK - Ilmu titen yang kerap menjadi pegangan nelayan dinilai sudah tidak berguna, akibat perubahan iklim.

Alhasil, tidak jarang nelayan harus pulang dengan tangan kosong karena hasil melaut tidak maksimal.

Ilmu titen adalah ilmu tradisional Jawa, berupa kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam, sehingga kerap digunakan nelayan untuk mencari ikan.

Baca Juga: BPBD Lebak: Gelombang Tinggi, Nelayan Diminta Waspada

Hal ini diungkapkan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati.

Tidak jarang nelayan justru alami kecelakaan bahkan menjadi korban akibat terjebak badai dan gelombang tinggi di tengah laut.

"Ilmu Titen sangat sulit saat ini, dijadikan acuan. Cuaca dan iklim sekarang begitu sangat dinamis dan sukar ditebak," papar Dwikorita Karnawati.

Baca Juga: Kapal Nelayan Berkah Abadi Batang Terbalik di Lautan, 12 ABK Hilang

Saat membuka Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Kamis 7 Oktober 2021, Dwikorita menegaskan perubahan iklim berdampak luas pada kehidupan masyarakat. khususnya nelayan.

Pasalnya, suhu bumi naik dan berdampak pada naiknya temperatur bumi, sekaligus juga mengubah sistem iklim dan berbagai aspek di perubahan alam.

Termasuk pengaruh aspek kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, dan ekosistem wilayah pesisir laut.

Baca Juga: Peneliti NOAA Temukan SpongeBob dan Patrick Stars Pada Misi Eksplorasi Bawah Laut di East Coast Selama Sebulan

Dwikorita mencontohkan, adanya banjir besar yang melanda kawasan Jabodetabek pada penghujung 2019 hingga awal tahun 2020 lalu.

Kejadian tersebut, berdasarkan prakiraan dan analisis terkonfirmasi BMKG disebabkan adanya seruak udara dingin (cold surge) dari Tibet ke Hong Kong.

Seruak udara dingin ini, selanjutnya masuk ke wilayah Jabodetabek. Cold surge yakni seruakan mengandung massa udara dingin, dari daratan Asia ke selatan.

Baca Juga: KNPI Sikapi 'Polisi Banting Pendemo' dalam Aksi Unjuk Rasa di Kabupaten Tangerang

Perubahan iklim inilah dinilai Dwikorita, yang lantas menjadi penyebab cuaca ekstrem, yang sering melanda tanah air, Indonesia.

Cuaca eksterm, seperti hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es yang meluas.

Dampaknya cuaca ekstrem, dapat dirasakan di nusantara meski bukan berasal dari Indonesia.

Baca Juga: Kualifikasi Piala Dunia 2022: Skuad Meksiko dan Kanada Tak Terkalahkan

"Perubahan iklim merupakan peristiwa global, dampaknya dirasakan regional atau pun lokal. Tak ada batasan teritorial negara lagi," ungkap Dwikorita.

Kondisi cuaca ekstrem, memacu BMKG untuk menggencarkan pelaksanaan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di daerah-daerah pesisir pantai.

"Melalui SLCN, BMKG ingin nelayan dapat melaut, mendapatkan hasil dan pulang dengan selamat," papar Dwikorita, seperti dilansir PortalLebak.com dari bmkg.go.id.

Baca Juga: Ikatan Cinta hari ini 14 Oktober 2021: Reyna temukan foto Mesra Rendy dan Jessica, Apa Maksudnya

Tujuan SLCN untuk meningkatkan keterampilan nelayan Indonesia untuk mengakses, membaca, menindaklanjuti dan mendiseminasikan informasi cuaca.

Termasuk di dalamnya, iklim maritim juga informasi prakiraan lokasi ikan, dari sumber yang terpercaya.

Selain itu, SLCN juga menjadi bagian dari ikhtiar BMKG mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Baca Juga: OJK Fasilitasi Pemilihan BPA AJB Bumiputera 1912, Pemegang Polis: Hak Memilih Kami Harus Diberikan

"Kegiatan SLCN ini menggunakan pembelajaran interaktif, yaitu metode belajar dan praktik," pungkasnya.

"Materi pokok yang akan diberikan yaitu pengenalan produk dan memahami informasi cuaca dan iklim maritim, cara membaca informasi maritim dan pengenalan alat-alat observasi," tutur Dwikorita.***

Editor: Dwi Christianto

Tags

Terkini

Terpopuler