Mahkamah Konstitusi MK Tunda Sidang UU Pemilu, Terkait Aturan Sistem Proporsional Terbuka

- 17 Januari 2023, 15:05 WIB
“Mahkamah Konstitusi di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim telah mengabulkan permohonan dari DPR untuk sidang secara luring,” kata Anwar Usman, dalam sidang keempat Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, Selasa, 17 Januari 2023.
“Mahkamah Konstitusi di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim telah mengabulkan permohonan dari DPR untuk sidang secara luring,” kata Anwar Usman, dalam sidang keempat Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, Selasa, 17 Januari 2023. /Foto: Tangkapan Layar/Laman Mahkamah Konstitusi (MK)./

PORTAL LEBAK - Ketua MK Anwar Usman beserta tujuh hakim konstitusi, mengabulkan permohonan DPR dalam kasus gugatan pemilihan legislatif sistem proporsional terbuka.

Kasus yang dibahas adalah uji materiil aturan mengenai sistem proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

“Mahkamah Konstitusi di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim telah mengabulkan permohonan dari DPR untuk sidang secara luring,” kata Anwar Usman, dalam sidang keempat Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, Selasa, 17 Januari 2023.

Baca Juga: Tolak Pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup, 8 Partai Politik Tegaskan Ingin Proporsional Terbuka

Meski demikian, Anwar menjelaskan, pelaksanaan sidang secara luring itu urung digelar pada hari ini, karena MK harus memberi tahu kepada pihak-pihak lain.

Para pihak tersebut yakni Presiden dan para Pemohon, termasuk pihak terkait seperti KPU beserta 11 Pihak Terkait lainnya.

Selain itu, MK membutuhkan sejumlah persiapan dari sisi sarana dan prasarana agar dapat kembali menggelar sidang berbagai kasus dengan cara luring.

Baca Juga: Pimpinan DPR Nilai Usulan Perubahan Sistem Pemilu Legislatif Tidak Logis

“Untuk itu sekali lagi untuk sidang secara luring atau sidang pada hari ini ditunda pada hari Selasa, 24 Januari 2023 jam 11.00 WIB,” tegas Anwar Usman dikutip PortalLebak.com dari lama Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, sebagai ketua MK Anwar Usman mengungkapkan sidang kelima Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 yang akan digelar 24 Januari 2023, akan menjadi sidang luring atau tatap muka pembuka, pasca-pandemi Covid-19.

"Akan menjadi sidang pertama atau pembuka bagi sidang luring atau tatap muka untuk perkara-perkara lain atau pada sidang-sidang lainnya yang akan datang," pungkasnya.

Baca Juga: Tolak Pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup, 8 Partai Politik Tegaskan Ingin Proporsional Terbuka

Penundaan Sidang atas Permintaan DPR

Keputusan ni dikeluarkan MK berdasarkan permintaan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memohon persidangan yang sebelumnya digelar daring (dalam jaringan interet) menjadi luring (luar jaringan internet).

Pelaksanaan sidang yang sebelumya daring dimohonkan oleh DPR agar diubah menjadi pesidangan luring di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

Seperti diketahui, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan).

Baca Juga: Jaksa Penuntut Umum: Putri Candrawathi Selingkuh Bersama Brigadir J

Dimas mengajukan bersama Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Para Pemohon mendalilkan ke Mahkamah Kontitusi tentang Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam sidang pendahuluan di MK pada Rabu 23 Desember 2022, para Pemohon mendalilkan diterapkannya norma-norma pasal itu, berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak (terbuka-Red).

Baca Juga: Staf BELIFT LAB Diserang Karena Diduga Memukul Idola KPop Sunoo ENHYPEN

Pemilu Dibajak Caleg Berduit

Pemohon menilai sistem proporsional terbuka, telah dibajak oleh calon anggota legislatif (caleg) pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik.

Padahal para pemohon beralasan para caleg tersebut banyak yang tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Alhasil, saat terpilih sebagai anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.

Baca Juga: Suroto Ketum DPP DGP: Partai NasDem Terperangkap Jebakan Batman Bikinan Surya Paloh

Para pemohon menilai, selayaknya harus ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen.

Itu pun dijalankan setelah para caleg mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, para Pemohon menilai pasal-pasal a quo sudah mengakibatkan individualisme para politisi, yang menyebabkan konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik.

Baca Juga: Inilah Akhir Kekuasaan Bos Mafia Messina Denaro, Setelah 30 Tahun Polisi Italia Baru Bisa Menangkapnya

Sistem proporsional terbuka ini menurut pemohon, melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas yang menempatkan kemenangan individual total di pemilu.

Padahal, harusnya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Karena peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Para Pemohon mengaku sangat dirugikan, karena pasal-pasal itu mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, sehingga sudah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.

Baca Juga: KPK Menyita Banyak Mobil Mewah Terkait Kasus Maling Uang Rakyat oleh Gubernur Papua Nonaktif Lukas Enembe

Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat, soalnya mendorong caleg menjalankan praktik kecurangan.

Seperti dengan pemberian uang dalam panitia penyelenggara pemilihan, jadi jika pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini, juga berbiaya tinggi.

Baca Juga: KPK Menyita Banyak Mobil Mewah Terkait Kasus Maling Uang Rakyat oleh Gubernur Papua Nonaktif Lukas Enembe

Alhasil, penyelenggaraan pemilu memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Para Pemohon melalui petitumnya memohon supaya Mahkamah Kontistusi (MK) menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.***

Editor: Dwi Christianto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x