Alasan Relawan DGP Dukung Pemilu Legislatif atau Pileg dengan Sistem Proporsional Tertutup

4 Maret 2023, 21:16 WIB
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerakan Relawan Dulur Ganjar Pranowo (DGP) menilai akan hanya ada dua poros pencalonan presiden dalam Pemilu 2024. DGP memasuki gerakan tahap kedua, menggelar Konferensi Pers, pada Sabtu 10 September 2022, di Menteng, Jakarta Pusat. /Foto: Portal Lebak/Dwi Christianto /

PORTAL LEBAK - Relawan Dulur Ganjar Pranowo (DGP) mendukung pemilu legislatif (Pileg) dengan Sistem Proporsional Tertutup andalah demi anti Politik Uang dan membangun kedaulatan rakyat, terutama Wong Cilik yang saat ini jumlahnya masih terlalu mayoritas.

Bayangkanlah, menurut Relawan DGP, 62 persen jumlah penduduk dewasa Indonesia, atau Para Pemilih dalam pemilihan legislatif hanya lulusan SMP.

Penasehat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) DGP Sabar Mangadoe menyatakan dukungannya pada Pileg dengan Sistem Proporsional Tertutup.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi MK Tunda Sidang UU Pemilu, Terkait Aturan Sistem Proporsional Terbuka

Sikap Sabar Mangadoe sama sekali bukan karena Partai Buruh, Partai Bulan Bintang (PBB) dan PDI Perjuangan mendukung sistem Proporsional Tertutup.

Menurut Sabar, dirinya mendukung Proporsional Tertutup, lantaran pemilihan legislatif dengan Sistem Proporsional Terbuka sejak Pileg 2009, terbukti semakin menyuburkan Politik Uang.

"Karena Demokrasi sistem manapun dan sampai kapan-pun di dunia ini, pokoknya bila menyebabkan politik uang semakin subur pasti menyebabkan Kedaulatan Rakyat semakin melemah," kata Sabar Mangadoe.

Baca Juga: Tolak Pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup, 8 Partai Politik Tegaskan Ingin Proporsional Terbuka

Padahal membangun Demokrasi adalah kesepakatan dan berbagai upaya bersama untuk membangun kedaulatan rakyat. Yaitu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat, alias Re-Publik, Pemerintahan oleh Rakyat, penyelengaraan negara yang Berkedaulatan Rakyat.

Demokrasi bukan sistem Pemerintahan Raja, Sultan, Kaisar atau Sistem Monarki Absolut seperti Kerajaan Saudi Arabia, KSA, dan Uni Emirat Arab, UEA. Bukan juga Sistem Negara Komunis dengan Satu Partai, atau partai tunggal seperti negara China saat ini.

Indonesia sejak didirikan adalah negara penganut Demokrasi berdasarkan Konstitusi Negara Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Baca Juga: Cara Lihat dan Unduh Sertifikat Vaksin di Aplikasi SATUSEHAT Mobile, Peralihan dari PeduliLindungi

"Ingatlah selalu, bahwa di saat Kedaulatan Rakyat semakin lama semakin melemah, maka Demokrasi semakin lama semakin mudah dijadikan alat untuk membangun konspirasi jahat bagi kaum Politikus Busuk, Pengusaha Hitam, Birokrat Korup dan Penegak Hukum Bengis. Yaitu Konspirasi Jahat untuk menjajah dan menjarah rakyat, bangsa dan negara-nya sendiri," nilai Sabar Mangadoe.

Politik Uang Lemahkan Kedaulatan Rakyat Wong Cilik

Praktek Politik Uang yang dimaksud disini adalah transaksi antara para calon legislatif dan calon kepala daerah, bahkan antara para calon kepala desa dengan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) atau disebut Wong Cilik. Semuanya menjadi semakin serba "Wani Piro?".

Akibatnya semakin lama semakin banyak Rakyat terutama Wong Cilik yang semakin tidak lagi berdaulat, tak punya martabat diri lagi dalam berpolitik untuk memilih para Calon.

Maka sudah pastilah mengakibatkan semakin lama semakin banyak anggota DPR-RI, anggota DPRD Propinsi, kabupaten dan kota, serta DPD-RI, juga Gubernur, Bupati dan Walikota serta Kepala Desa yang menang terpilih karena metoda andalannya adalah Politik Uang.

Baca Juga: Update Kebakaran Pipa Bensin Depo Pertamina Plumpang: 17 Tewas, Ribuan Warga Terpaksa Mengungsi

Lalu apalah yang masih bisa kita harapkan dari para Pemimpin Legislatif dan Yudikatif seperti mereka-mereka ini? Apakah memang Demokrasi yang seperti ini yang kita inginkan?

"Dulu Bung Karno menyebut mereka-mereka para Politikus jahat, Pengusaha Hitam, Birokrat Korups dan Penegak Hukum Bengis yang berkonspirasi jahat sebagai 'LONDO IRENG'. Mereka semua ini lebih jahat dari jahatnya Belanda Penjajah dan Penjarah itu," tegas Sabar.

Demokrat Gugat MK, Hasil Pileg 2009 Sangat Janggal

Melalui gugatan dari kader-kader partai Demokrat saat itu, kemudiaan Mahkamah Konstitusi, MK pada bulan Desember 2008 memutuskan untuk mengabulkan gugatan bahwa Pileg dengan sistem Proporsional Terbuka.

Baca Juga: Kode Redeem Genshin Impact atau GI Sabtu 4 Maret 2023, Pastikan Bisa Digunakan

Kemudian Pileg 2009 hasilnya sangat janggal. Yaitu jumlah perolehan kursi Partai Demokrat mampu melesat terbang dari hanya 61 kursi pada Pileg 2004, menjadi 148 kursi DPR RI pada Pileg 2009. Kenapa sangat janggal.

Karena dalam catatan sejarah perjalanan demokrasi di negara manapun dan kapanpun, 'dalam Sistem Pemilihan dengan multi-partai', belum pernah terjadi sebuah partai berhasil meraih jumlah perolehan kursi-nya naik berlipat ganda seperti Partai Demokrat pada Pileg 2009 lalu.

Kecuali memang sebelumnya didahului terjadinya kekacauan politik seperti yang terjadi pada Pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 partai. Saat itu jumlah perolehan kursi PDI Perjuangan melesat sampai 128 anggota DPR-RI 1999-2004. Ini wajar sajalah, tapi Partai Demokrat pada Pileg 2009 sangat janggal.

Baca Juga: Tiket Perjalanan untuk Mudik Lebaran 2023 Sudah Bisa Dipesan Sekarang Melalui Tiga Cara

"Fakta ini sebenarnya sangat luar biasa janggal, tapi begitulah fakta politik yang terjadi pada Pileg 2009 dengan Sistem Proporsional Terbuka saat itu," ucap Sabar.

Lambang dan moto Dulur Ganjar Pranowo (DGP).

Pileg Proporsional Terbuka Terbukti Suburkan Politik Uang Para Caleg

Fakta lainnya yang bikin kita tambah miris, ternyata sejak Pileg 2009, lalu 2014 dan kemudian 2019 yang lalu, Pileg dengan sistem Proporsional Terbuka telah terbukti justru semakin menyuburkan praktek politik uang antara para Caleg dengan Kaum Wong Cilik.

"Akibatnya Pileg dengan Sistem Proporsional Terbuka selama ini, semakin lama semakin banyak para anggota legislatif (DPR-RI, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, juga DPD-RI) yang menang karena metoda andalan mereka adalah praktek politik uang ini," paparnya.

Baca Juga: Walikota Medan Bobby Nasution Geram ke Sopir Angkot Usai Menerobos Lampu Merah dan Menabrak Pengendara Motor

Almarhum Buya Syafii Maarif, menurut Sabar, selalu bolak-balik lantang dan lugas mengatakan bahwa Indonesia memasuki fase Demokrasi Tuna Adab, tapi para Politisi dan Partai seolah tidak ada yang mau peduli sama sekali.

Lalu ditambah lagi dengan fenomena politisasi agama dari kaum radikal agama transnasional (K@rat) atau yang populer di Indonesia disebut sebagai kaum Kadrun. Seperti contoh yang terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 lalu, pesta demokrasi malah menjadi kentara sekali tuna adab menuju biadab.

"Ringkasnya, kini Indonesia memasuki fase Demokrasi Tuna Adab Menuju Biadab," tegas Sabar dilansir PortalLebak.com dari keterangan tertulisnya.

Baca Juga: Jalan Amblas di Jalan TB Simatupang, Bina Marga DKI Jakarta Segera Perbaiki

DGP Dukung Pileg Proporsional Tertutup Demi Kedaulatan Rakyat Wong Cilik

"Untuk mengembalikan Kedaulatan Rakyat yang hakiki, terutama di tangan Kaum Wong Cilik yang jumlahnya masih sangat banyak, maka DGP mendukung Pileg untuk kembali menerapkan Sistem Proporsional Tertutup pada Pemilu 2024 dan Pemilu berikutnya," pungkas Sabar Mangadoe.

Semata-mata Sabar menilai agar demokrasi Indonesia dapat menjadi alat untuk men-sejahterakan dan memajukan rakyat, bangsa dan negara Indonesia. Bukan malah sebaliknya seperti saat ini. Sabar berharap bahwa 9 Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan gugatan tentang Proporsional Terbuka menjadi Tertutup, yang tengah disidangkan saat ini.***

Editor: Dwi Christianto

Tags

Terkini

Terpopuler